TENGANAN merupakan salah satu desa tua yang ada di Kabupaten
Karangasem. Desa seluas lebih kurang 900 hektar ini memiliki banyak
keunikan yang tidak ada di desa lainnya di Bali. Salah satu keunikan
yang melekat dengan Tenganan yakni perang pandan yang menjadi destinasi
wisata yang menarik.
Berbicara asal mula desa yang terkenal dengan tenun geringsingnya
ini, tidak ada catatan sejarah tertulis yang menyebutkan kapan desa ini
mulai terbentuk. Menurut penekun spiritual asal Desa Tenganan, I Nyoman
Sadra mengatakan, sumber tertulis tidak ditemukan lagi, kemungkinan
sudah terbakar saat desa ini tertimpa musibah pada tahun 1842 silam.
Ketika kebakaran itu terjadi, semua yang ada di kampung Tenganan ini
terbakar, termasuk semua awig-awig maupun catatan lainnya.
Meskipun tertimpa musibah kebakaran, namun, awig-awig yang mengatur
kehidupan masyarakat berusaha kembali ditulis. Hanya saja, karena
penulisannya berdasarkan ingatan, maka hasilnya kadang tidak nyambung
antara pasal yang satu dengan pasal lainnya. Namun demikian, awig-awig
milik desa Tenganan ini bisa dibilang sangat lengkap. Aturan perkawinan
maupun aturan lainnya dimuat secara lengkap termasuk masalah pelestarian
lingkungan. Awig-awig pasca kebakaran tahun 1842 lalu berhasil dihimpun
kembali memuat lebih kurang 50 pasal.
Meskipun tidak ada catatan tertulis resmi yang menjelaskan asal mula
desa Tenganan ini, namun dalam masyarakat setempat, berkembang dua versi
cerita menyangkut keberadaan Tenganan. Versi pertama menyebutkan,
keberadaan Desa Tenganan ini terkait erat dengan keberadaan Raja
Mayadanawa yang berpusat di Bedahulu. Mayadanawa disebutkan sebagai raja
yang congkak dan tidak mau mengakui keberadaan Tuhan. Masyarakatnya
juga dilarang melakukan ritualisasi kepada Tuhan. Akibat ulahnya
tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah. Lalu, para dewa
melakukan rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku dewa perang
diutus ke bumi untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam perang
antara dewa Indra dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu
kalah. Untuk merayakan kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan
upacara Aswameda Yadnya. Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan
menggunakan seekor kuda putih yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali
menyebutnya Once Srawa untuk dijadikan kurbannya.
Kebetulan sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa.
Tahu dirinya akan dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung
melarikan diri dari Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra
akhirnya mengutus orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih
tinggal di Bedahulu dekat Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan
dijadikan kurban Aswameda.
Kelompok pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari
memencar dengan arah berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara,
satunya lagi menuju timur. Kelompok yang menuju ke timur sangat
beruntung karena berhasil menemukan kuda tersebut walaupun dalam keadaan
mati. Kuda tersebut mereka temukan dilereng bukit Tenganan.
Kelompok yang menemukan kuda ini tidak mau kembali ke Bedahulu. Indra
yang mengetahui kejadian itu akhirnya memberikan wilayah disekitar
bangkai kuda tersebut kepada kelompok yang menemukannya. Dengan syarat,
sejauh mana bangkai kuda itu tercium, sejauh itu wilayah yang
dihadiahkan.
Akhirnya, karena ingin mendapatan wilayah yang luas, bangkai kuda
tersebut langsung dipotong-potong dan dibawa sejauh mereka bisa
berjalan. Keadaan inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra memanggil
orang-orang tersebut. Tempat dari mana Indra memanggil orang tersebut
kini berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Batu Madeg yang tempatnya
disebelah pos Polisi Candidasa. Sedangkan ditempat orang yang membawa
bangkai kuda tepatnya berbatasan dengan Desa Macang kini menjadi Pura
Pengulapan. Kedua pura ini disungsung oleh Desa Tenganan.
Sampai saat inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada
hubungan. Setiap sasih Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu
pasti melakukan persembahyangan ke Tenganan. Demikian juga Tenganan pada
bulan yang ditentukan menurut kalender Tenganan akan melakukan
persembahyangan ke Bedahulu.
Peran Dewa Indra yang sangat besar dalam kejadian tersebut membuat
warga Tenganan menjadi penganut Indra. Ini dibuktikan dengan adanya
perang pandan yang merupakan ritual kepada Indra.
Sementara itu, versi lainnya dikatakan oleh Sadra agak dekat dengan
sejarah. Keberadaan Tenganan menurut versi ini dimulai dengan ketegangan
antar sekta yang ada di Bali ketika pemerintahan Raja Udayana
Warmadewa. Ketika itu, di Bali ada banyak sekta. Sekta inipun saat itu
nampaknya tidak pernah akur dan sarat dengan intrik politik.
Raja Udayana Warmadewa yang khawatir dengan kondisi ini langsung
bersikap. Raja mengundang Mpu Kuturan yang merupakan penganut Buddha
sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga yang artinya
pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu
Kuturan sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini
menjadi Pura Samuan Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.
Berkat campur tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa
diredam dan menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka
dibangunlah Pura Besakih yang secara politis dinilai sebagai pemersatu
masyarakat dari banyak Sekta.
Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah
sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura
Khayangan tiga dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih
banyak ritualnya ditujukan kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu
penyembah Indra. Mereka kan orang Arya dari bangsa Ksatrya’’ujar Sadra
saat itu.
Namun demikian, menurut penemuan ilmiah. Pada tahun 1978, seorang
ilmuwan asal Swis bernama George Breguet pernah melakukan studi genetika
di Tenganan. Hasilnya, darah warga Tenganan ternyata memiliki kesamaan
dengan darah orang Calkutta, India tepatnya dari Orisa, Benggali. Bukti
lainnya yang menguatkan orang Tenganan ada hubungan dengan India yakni
adanya tenun dobel ikat. Menurut Sadra, tenun ini hanya ditemukan ditiga
lokasi yakni India, Jepang dan Tenganan (Indonesia). Bukti lainnya, di
tanah Benggali hingga saat ini juga masih ditemukan ritual Bali Yatra
yaitu perjalanan suci orang-orang Orissa ke Bali.corak kain Gringsing
yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan corak kain Gringsing yang
dibuat orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar